Minggu, 26 Agustus 2007

Ruang Buat Faktor X

Manusia telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dengan pikirannya bermacam-macam ilmu dan teknologi telah berhasil diciptakan. Manusia memang pintar. Tapi, seberapa pintarkah manusia itu sebenarnya? Mengapa manusia terkadang bisa sangat sombong baik karena ilmu ataupun kedudukan yang ia miliki? Bahkan yang lebih ironis lagi manusia yang membandingkan dirinya dengan Tuhan atau mengaku lebih hebat dari-Nya. Mengapa manusia bisa berperilaku demikian?

Bisakah orang menyombongkan kemampuan dirinya dengan orang lain? Jika kita perhatikan, semakin orang pandai akan sesuatu, semakin banyak waktu dan tenaga yang ia gunakan untuk hal itu. Semakin banyak pula waktu dan tenaga yang tidak ia gunakan untuk hal yang lain. Misalnya orang yang makin pintar dalam hal matematika, makin pintar jugakah ia dalam kedokteran? Geologi? Ilmu Sosial? Jadi bisakah orang menyombongkan diri ketika tahu banyak hal yang tidak ia kuasai?

Berhakkah manusia menyombongkan dirinya dengan Tuhan? Coba kita perhatikan contoh yang sederhana saja, hal yang biasa kita hiraukan, yaitu daun yang jatuh ke tanah dari sebuah pohon. Kita saksikan daun yang jatuh menampilkan sebuah gerakan nan indah tetapi tidak bisa kita duga. Pontang panting ke kanan ke kiri, membolik-balik, memutar-mutar, terlempar jauh dengan gemulainya. Hal yang sepertinya bagi kita acak. Tetapi jika kita mempelajarinya, mungkin kita dapat mendefinisikan sebuah ilmu penentu gerakan daun itu, bahkan rumus fisika. Dengan faktor seperti: kuat dan arah angin, suhu, kelembapan udara, aspek aerodinamis daun, dll. Dengan ilmu yang memusingkan dan waktu yang sangat lama mungkin kita dapat menentukan penyebab kenapa daun itu bisa begini dan begitu. Dan ahaa, itu baru mempelajarinya saja. Sekarang dapat dibayangkan bahwa Tuhan yang menciptakan segala gerakan daun termasuk daun itu sendiri, trilyunan materi lain dengan ilmu yang menyertai dan zat pembentuknya, hubungan sebab akibat antar materi yang mengaitkan semuanya, wadah semua materi itu dalam bentuk ruang waktu, apakah bisa disamakan dengan kepintaran manusia? Bahkan manusia yang paling pintar dengan gelar profesor saja hanya ahli di satu bidang, hal lain boleh jadi ia tidak paham.

Jadi hanya orang bodohlah yang bisa menyombongkan diri. Orang yang pintar akan makin sadar bahwa sebenarnya ada banyak hal yang ia tidak tahu. Semakin banyak tahu, semakin tahu pula bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Hal yang belum diketahui atau diluar pemikiran manusia itulah yang saya sebut sebagai faktor x di sini.

Faktor x merepresentasikan segala hal. Dengan mempertimbangkan kehadirannya (membuatkan ruang untuk hal yang belum kita ketahui) adalah awal dari sebuah kecerdikan. Sedangkan kesombongan adalah musuhnya. Kesombongan layak untuk dicap sebagai musuh karena menutup akal kita untuk mencari dan mempertimbangkan segala hal baru. Kadang kala keegoisan kita muncul menjadi tabir menutup kesombongan itu menjadi semu, tidak terlihat namun ada. Jika ingin menjadi pintar yang sebenarnya, kesampingkan kesombonganmu dan terima hal baru dari siapapun juga. Ilmu datang tak pilih-pilih status, usia, jabatan, atau gelar sarjana. Selamat datang di alam semesta ilmu.

Filosofi Menang Kalah

Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang selalu berjalan bersama, keduanya beriringan meskipun orang memandangnya bertolak belakang. Kemenangan dan kekalahan sebenarnya adalah dua hal yang berpasangan, sama juga dengan hal lainnya. Akan tetapi di kehidupan ini satu diantaranya selalu dinanti, sedang satunya dihindari. Yang satu disambut dengan mata berbinar dan bersorak girang, satunya disambut dengan uraian air mata dan kegalauan hati. Kebanyakan orang memandang hanya kemenanganlah yang punya arti, "Hidup ini ya untuk menang, ngapain berjuang kalo akhirnya kalah?" Jika segala hal diciptakan punya maksud dan tujuan, lalu apakah kekalahan juga punya arti dan makna?

Menang, kalah, semua hal, ada karena punya arti. Dengan berjuang untuk menang, kita akan berusaha memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik dari masa lalu. Lalu kalau akhirnya kalah, apakah semuanya sia-sia saja? Malah jadi lebih buruk? Tidak, tentu, malah dengan kekalahan kita jadi tahu kelemahan kita. Persaingan, pertandingan, dan segala perlombaan, akan membuat kita tahu kelemahan yang ada pada diri kita sendiri, yang mungkin sebelumnya belum pernah kita sadari. Untuk jadi lebih baik, kita harus belajar dari yang lebih hebat. Maka takkan ada rasa menyesal karena kalah. Apalagi merasa dipecundangi.

Bagaimana dengan kemenangan? Kemenangan adalah sebuah penghargaan nyata atas usaha kita. Apakah itu sebuah bukti bahwa diri kita lebih baik dari yang lain? Tentu ya. Tetapi yang perlu disadari bahwa menang bisa jadi barang memabukkan. Meski waktu bertanding kita sadar akan kekurangan, tapi kalau menang kita bisa lupa diri, lupa akan kekurangan yang kita ingat tadi, lalu hanya merasa yang paling hebat. Jika demikian maka sebuah kemenangan tak mempunyai arti lebih baik dari sebuah kekalahan. Ada sudut pandang lain yang lebih baik dalam memandang kemenangan. Yaitu ketika tahu bahwa kemampuan kita lebih tinggi dari semua orang, apakah kita perlu kemenangan hanya untuk mengingatkan kembali bahwa kita yang paling hebat? Misal seorang grand master catur sedang melawan seorang pecatur muda berbakat. Apakah ia mengalahkan pemuda itu hanya untuk sebuah deklarasi kembali kehebatan dirinya? Tidak bukan? Ia tidak hanya sekedar mengalahkan, tetapi mengalahkan untuk mengajari, untuk memberi tahu kelemahan si pecatur muda. Jika kita bisa memandang kemenangan demikian, maka kita sudah melangkah lebih maju dari sebuah pemahaman biasa ke penyelaman arti dan makna.

Yang terakhir tersisa hanyalah sikap besar hati, kalah dan menang punya satu makna tersendiri. Sungguh tak ada hal diciptakan dengan sia-sia, melainkan ada karena punya makna. Berusahalah agar hari esok lebih baik dari hari sekarang dan hari sekarang lebih baik dari hari yang lalu! Bukankah itu yang selalu dinasehatkan?

:: Persaingan yang dimaksud bukan perang, karena perang punya konteks yang berbeda

Sabtu, 25 Agustus 2007

Algoritma dan Alur Pikir Manusia

Sebagai seorang programmer boleh dikatakan hampir setiap hari aq berkutat pada masalah logika dan matematika. Kadang cuma bersinggungan dengan logika yang gampang, tapi kadang pula harus berurusan dengan logika yang multi kompleks. Komputer memang aneh, makhluk yang satu ini punya daya ingat yang begitu hebat, tapi di sisi lain bodohnya luar biasa. Punya memori bermega-mega bahkan giga tapi tidak bisa berpikir sendiri, hal sepele pun minta diajari. Atau lebih tepatnya, diperintah. Memerintah komputer bisa terserah tapi tidak bisa asal. Karena kalo salah outputnya bakal diluar dugaan. Maka ada cabang ilmu komputer yang dinamakan logika dan algoritma. Cabang yang membahas tentang bagaimana harus berpikir logis, cara menyusun logika langkah demi langkah sehingga apa yang kita inginkan tidak membingungkan mesin polos ini.

Berawal dari itu semua, entah kapan aku mulai berpikir, bahwa manusia yang katanya sebagai makhluk yang paling cerdas di dunia, juga berperilaku serupa. Sama-sama punya algoritma, dalam bahasa yang lebih dikenal mungkin adalah alur pikir. Jika algoritma adalah urutan logika cara program komputer berjalan, maka alur pikir menunjukkan urutan langkah cara manusia berpikir tentang sesuatu.

Dalam algoritma ada yang dinamakan dengan bug. Bug adalah kesalahan, baik cara menulis program ataupun logikanya. Pikiran manusia pun sama, bisa punya kesalahan juga. Jika bug terjadi pada pemikiran, diperlukan pemikiran lain yang lebih bagus dan sempurna untuk membuktikan kesalahan pemikiran sebelumnya. Contohnya adalah pandangan Hitler tentang Bangsa Jerman. Tanpa pembuktian kita mungkin takkan pernah tahu bahwa itu salah bukan? Lewat pemikiran, kesadaran manusia bisa bangkit hanya dalam sekejap, tetapi bisa pula terus terperangkap, baru bangkit setelah melewati masa yang sangat lama, dan bahkan tidaklah mustahil telah mengorbankan banyak nyawa. Seiring dengan semakin panjang sejarah manusia, paradigma dan alur pikir terus berubah, selalu mencari dan berusaha untuk mendekati kebenaran sejati.

Goresan Tinta

Kurasakan mulai detik yang lalu
kakiku jinjit, sayapku merenggang
siap-siap terbang ke lain alam
dimana kata dan bahasa adalah permata
membunyikan sedih riang suara hati-pikiran, yang terdalam

Saat mendadak daya kreatifku bergejolak
langsung kuambil pensil atau ballpoint, kertas seadanya
Serta merta jariku menari
mengikuti perintah pikiranku yang mulai cerewet
dan mataku yang melotot, mengawasi
kalau ada sedikit bahkan setitik salah koreografi

Bak hujan yang kadang deras kadang terhenti
Untaian bait yang dari tadi menyembur
tiba-tiba tersendat
Otakku melakukan aksi diam, tak lagi berkata-kata
Habis ini lalu apa?
Mataku melirik ke kanan kiri, kadang jauh keluar
Melihat pagar usang, rumput, tanaman
Mencari sesuatu
Bukan materi, tapi hanya sejumput atau segenggam imajinasi
Maukah kau jadi temanku berinspirasi?

Lama waktuku habis melamun, tak jua kreasiku bertambah
Hanya kutemukan kosong udara tak kentara
membuyarkan pandangan setapak jalan di depan
Mungkin kata-kata memang tak bisa dipaksa
sekuat apapun aku ingin keluar memuntahkannya
Mungkin juga terhenti
karena persediaan kata di kepalaku hanya tinggal satuan mili
Kubalikkan coretan yang terisi setengah halaman itu
dan kubuka buku dengan judul bold tebal
kumpulan karya penulis terkenal
Maka kuberhenti menulis dan mulai membaca
agar penaku lebih berat dari sebelumnya

Sebuah goresan tinta
Ada lebih baik dari tak ada
Tahu lebih baik dari tak tahu