Kamis, 27 September 2007

Dimensi Pikiran

Tubuh dan fisik manusia mempunyai kekuatan dan dapat bergerak bebas. Namun ia terbatas oleh materi fisik lain yang ada di sekitarnya. Ia tidak dapat melewati tembok, menembus tanah, maupun terbang ke langit tanpa alat bantu. Sedangkan pikiran? Pikiran dapat bergerak kemanapun yang ia mau. Ia dapat menembus segala sesuatu, terbang kemana saja yang ia suka. Menempati ruang apapun yang tersedia. Dari ruang yang terbentuk antara materi sekecil atom sampai ruang antar galaksi dengan jarak bermilyar tahun cahaya. Ia adalah kekuatan yang disertakan kepada manusia. Daya hancurnya lebih besar daripada senjata manapun, sedangkan kelembutannya lebih dahsyat daripada air. Sadarilah kekuatannya, maka akan kau sesali dengan hanya diam menelantarkannya.

Sederhana

Aku ingin berkarya hebat
Aku ingin membalikkan ide lama
Aku ingin mengangkat derajat buruk dari baik
Aku ingin menceritakan arti dan makna
Darimanakah semua harus bermula?
Mungkin otak kecilku terlalu berpikir besar
seperti punuk merindukan bulan
Mungkin aku harus belajar banyak
menjadi sederhana

Teruslah Belajar

Setiap diri kita dianugerahi akal pikiran. Gunakan anugerah itu dengan belajar sebanyak apapun ilmu. Belajar itu penting karena dengan belajar kita bisa memahami sesuatu yang sebelumnya kita tidak pernah sadar bahwa hal itu ada. Semakin banyak tahu semakin bijak kita dalam berpikir dan bajik kita dalam bertindak. Belajar bisa melalui beberapa hal yaitu menonton, mendengar, atau membaca. Dari ketiga hal ini menurut saya yang paling banyak berguna adalah membaca. Karena di Indonesia ini apa yang bisa kita tonton dan bisa menambah ilmu? Tontononan TV tidak banyak mengandung ilmu, malah didominasi oleh tayangan yang tidak bermanfaat. Siaran seperti discovery channel, national geographic, atau mungkin harun yahya, tidak ada di layar televisi kita. TPI yang dulu kepanjangan dari Televisi Pendidikan Indonesia kini sama sekali tidak banyak menyiarkan siaran pendidikan, entah apa kepanjangan TPI sekarang.

Membaca adalah yang paling berguna karena media berupa tulisan biasanya mempunyai muatan ilmu yang lebih banyak. Surat kabar seringkali bukan hanya berisi berita tapi juga ada kolom analisa, opini, iptek dll. Lebih-lebih buku yang memang dianggap sebagai jendela dunia, adalah sebuah peti yang berisi harta karun pengetahuan.

Membaca memang lebih sukar dilakukan daripada kedua hal lainnya. Karena usaha yang diperlukan memang lebih berat. Belum lagi dihinggapi rasa bosan lalu mengantuk karena yang dipandang cuma warna hitam putih saja. Atau tambah lagi jika ada kalimat penulis yang tidak membuat paham, seringkali berhenti di tengah-tengah paragraf menjadi pilihan. Memang mengawali untuk gemar membaca adalah hal yang tidak mudah. Saya juga demikian, apalagi membaca buku diktat kuliah tebal dalam bahasa Inggris, huff. Saya sendiri belum lama tertarik untuk suka membaca. Keingintahuan akan suatu hal mendorong saya untuk mencoba tidak bosan memandangi garis garis tulisan. Rasa gengsi karena tidak tahu bagaimana harus menjawab ketika ditanya, atau takjub melihat orang lain bisa berkomentar dan berdebat adalah faktor lain. Dan terakhir harus saya akui bahwa saya membaca karena saya ingin bisa menulis. Setelah membaca novel Supernova, saya baru sadar bahwa ternyata dua warna monoton bisa mendadak nampak indah di depan mata. Saya ingin bisa menulis seindah tulisan mbak Dee.

Melihat kondisi di Indonesia ini, memang sepertinya tidak terlalu mengherankan jika kebanyakan masyarakat tidak gemar untuk belajar dan membaca. Kebanyakan kita hanya ingin bersenang-senang saja, bercanda, dan tertawa. Ya memang sah-sah saja. Tapi apa ya dengan begini ini bangsa kita bisa bangun? Menurut saya hal ini punya kaitan tidak langsung dengan media televisi. Siaran televisi yang masih didominasi oleh sinetron dan tayangan hura-hura mengkondisikan pemirsanya untuk cuma tahu cara bersenang-senang. Lalu kapan masyarakat yang bodoh dan miskin tergerak untuk belajar dan berusaha? Kapan kaum yang berpendidikan tergerak untuk tidak hanya santai tapi berpikir dan menganalisa? Barangkali bukan saja Indonesia yang butuh reformasi dan Jakarta yang butuh revolusi budaya, tapi televisi kita juga butuh reformasi siaran. Para pembuat acara tv dituntut harus lebih kreatif lagi dalam membuat siaran yang tidak hanya kaya akan ilmu dan pendidikan tapi juga menarik, karena siaran yang sarat ilmu tapi membosankan juga percuma. Memang harus kita akui bahwa saat ini kita benar-benar miskin kreatifitas.

Maka dari itu kita harus mempunyai semangat untuk terus belajar. Mempelajari hal baru akan memberikan kita dorongan untuk menciptakan hal baru juga. Kaya akan ilmu maka kaya juga akan kreatifitas. Semoga bangsa ini dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain, diawali dengan dorongan dari tiap-tiap warganya untuk selalu ingin tahu lebih banyak.