"Jika ide lama yang telah ada membuat pemahaman kita terperangkap tidak bisa maju, boleh jadi satu kata perlu sebuah definisi kembali."
Minggu, 23 Desember 2007
Perumpamaan Takdir
Takdir memang sesuatu yang tak mudah untuk dipahami. Takdir merupakan salah satu dari ketentuan Tuhan Yang Maha Agung. Karena Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu, sumber dari segala ilmu dan intelegensi, pencipta alam semesta dan seisinya, maka barangkali kita terlalu menggampangkan pemahaman tentang takdir jika kita hanya menggunakan logika yang simpel (seperti menganggap kedua pertanyaan di atas saling kontradiksi). Malahan sebaliknya, takdir adalah sesuatu yang cukup kompleks untuk dipahami dengan logika manusia.
Apakah takdir yang sebenarnya tidak mungkin untuk dipahami? Tentu saja mungkin. Kita bisa mendekatkan pemahaman tentang hal yang sulit dengan hal lain yang lebih mudah untuk dipahami, inilah peran penting sebuah perumpamaan. Di sini saya akan mencoba mengumpamakan takdir dengan suatu hal yang semoga lebih mudah untuk dipahami.
Saya pernah berpikir bahwa segala ilmu di alam semesta ini bisa menunjukkan kepada kita tentang tanda dan keagungan Tuhan. Ilmu fisika, kimia, biologi, dan lain sebagainya. Kecuali satu ilmu ini, ilmu yang saya tekuni bertahun-tahun, yaitu ilmu tentang komputer. Karena komputer adalah alat yang dibuat oleh manusia, maka ilmu tentangnya tentu hanya berkaitan dengan alat tersebut saja. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan tanda-tanda alam atau bahkan keagungan Tuhan. Namun lama-kelamaan, saya menyadari bahwa dalam ilmu komputer juga, kita bisa belajar memahami tentang Tuhan dan ketentuan-Nya. Dalam hal ini, di dalam ilmu komputer terdapat beberapa hal yang bisa digunakan sebagai sebuah perumpamaan.
Takdir bisa diumpamakan dengan sebuah sistem atau program yang dibuat oleh seorang programmer. Programmer membuat program dengan cara menuliskan baris-baris kode perintah dari awal sampai akhir. Dia menentukan bagaimana alur program tersebut berjalan. Dia menuliskan semua kemungkinan yang bisa terjadi di dalam program tersebut. Karena program tak ada gunanya jika tidak ada yang menggunakan, maka di sinilah letak pentingnya pengguna program. Pengguna melakukan input yang akan menentukan alur jalannya program, atau bisa dikatakan input pengguna akan menentukan output yang dihasilkan. Jadi sistem atau program itu sudah dibuat oleh programmer sedangkan penggunalah yang menentukan bagaimana alur program berjalan. Jika program ini dikaitkan dengan takdir. Maka dapat kita pahami bahwa semua kondisi dan syarat di dalam sebuah sistem takdir telah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya. Lalu kita sendirilah yang menentukan dimana saat ini kita berada dalam sistem takdir tersebut. Contoh yang mudah dipahami adalah kita akan pandai jika belajar dan bodoh jika tidak belajar. Ketentuan atau syarat itulah yang sudah Tuhan tetapkan atas diri kita. Maka dengan ini takdir bisa kita anggap sebagai sebuah sistem yang sangat kompleks, dan tentu saja kedua pertanyaan di atas tadi bisa kita pahami sebagai dua hal yang sama-sama benar.
Ada yang bilang bahwa masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang hanya ada dalam dimensi manusia. Sedangkan di hadapan Tuhan ketiga hal tersebut adalah satu atau sejajar. Tidak ada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan di hadapan Tuhan. Bagaimana hal ini bisa dipahami? Jika ini kita umpamakan lagi dengan sistem atau program komputer tadi maka kita tidak akan sulit untuk memahaminya. Seperti yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa programmer telah membuat baris-baris perintah dari baris yang paling awal sampai baris yang paling akhir. Jika baris itu dijalankan secara perlahan satu demi satu, maka sang programmer tentu sudah mengetahui sekaligus apa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi dalam program yang berjalan itu. Programmer juga mengtahui segala sebab dan akibat yang dilakukan oleh pengguna program. Ya karena dia sendirilah yang membuat semua sistem itu bukan?
Kita terkadang menempatkan takdir secara tidak semestinya. Takdir bisa beralih fungsi menjadi sebuah kambing hitam. Alangkah enaknya jika perbuatan yang dilakukan oleh seseorang menjadikannya tak punya tanggungan dengan cara mengatasnamakan takdir. Contohnya adalah tindakan yang ada sangkut pautnya dengan nyawa. Takdir tentu berkaitan dengan hidup dan mati. Akan tetapi jika seorang dokter melakukan kesalahan pengobatan yang menyebabkan seorang pasien meninggal, apakah itu adalah kehendak dari Tuhan juga? Saya akan berkata sama sekali tidak. Dokter itu sendirilah penyebabnya. Jangan dengan mudahnya kata ”takdir” membuat kita lepas dari tanggung jawab. Apapun pekerjaan dan profesinya. Seorang dokter, tentara, atau bahkan pembuat bom sekalipun.
Dengan memahami bahwa diri kita sendirilah yang menentukan jalan hidup kita, maka kita tidak bisa hanya menyalahkan takdir jika keadaan kita saat ini tidak sesuai dengan kehendak hati. Sedapat mungkin berusahalah agar keluar dari kesulitan. Karena takdir adalah seperti sebuah sistem, nasib kita bukanlah suatu hal yang sudah terpatok mati, melainkan bisa berubah jika kita benar-benar punya kemauan untuk merubahnya.
Terakhir sebuah catatan yang tidak ingin saya lewatkan adalah tulisan ini hanyalah sebuah perumpamaan saja. Segala perumpamaan tidak bisa menjelaskan secara keseluruhan tentang sesuatu. Ia hanya bisa mendekati yang diumpamakan. Dan bisa jadi juga perumpaan tersebut salah. Tentu perumpamaan yang paling baik adalah yang paling mendekati kebenaran. Dengan ini semoga kita tahu bagaimana harus bersikap jika kelak dihadapkan pada perumpamaan yang lain.
Jumat, 14 Desember 2007
Rasa Takut dan Keberanian
Ada seorang murid sebuah perguruan bela diri. Dia sudah belajar di perguruan itu cukup lama, 10 tahun. Dia terkenal paling kuat di antara semua murid yang ada. Suatu saat gurunya berkata ingin mengajarkan pelajaran terakhir kepadanya. Murid itu diminta untuk datang di hutan yang cukup jauh dari padepokan. Tempat yang sama sekali belum pernah ia jamah. Akhirnya lusa hari tiba. Sesuai dengan yang diperintahkan, ia pergi ke hutan yang diminta. Dalam perjalanan terkejutlah ia karena harus melalui jalan yang dikuasai oleh seekor singa. Ia tak mengurungkan niat sama sekali untuk mundur dan berkata dalam hati bahwa apapun yang terjadi ia harus bisa sampai ke tempat tujuan meski harus bergelut sekalipun dengan singa itu.
Benarlah hal itu terjadi. Meski sudah berhati-hati agar tidak membangunkan sang singa, ternyata singa itu sangat waspada. Sang singa lalu berdiri dan meloncat ke arahnya. Dengan kekuatan maksimal sang pendekar berusaha menahan serangan, tapi keunggulan kekuatan singa membuatnya terpental lalu jatuh. Merasa kekuatannya tak seimbang, sang pendekar berusaha mencari sesuatu yang dapat dipakai sebagai senjata. Dilihatnya sebatang kayu yang cukup runcing tak jauh dari situ dan dengan cepatnya sang pendekar meraih kayu itu. Perkelahian terjadi cukup lama. Akhirnya meski dengan penuh luka dan kehilangan banyak tenaga ia berhasil memenangkan pertarungan yang hampir saja membuat nyawanya hilang itu.
Dengan membawa tongkat penolong nyawa di tangan ia pun melanjutkan perjalanan kembali. Namun tak seberapa lama ia sudah melihat sosok sang guru berada di hadapannya. Sang guru lalu menyuruhnya untuk beristirahat dan mengobati luka. Murid bertanya, ”Wahai Guru, pelajaran apa yang ingin engkau berikan kepadaku sehingga aku harus berjalan jauh seperti ini dan melawan seekor singa?” Guru menjawab, ”Aku ingin mengajarimu sebuah keberanian. Tanpa keberanian kau tak akan bisa mengalahkan singa besar itu dan sampai di tempat ini.” Sang murid terperanjat mengira pelajaran yang akan diberikan kepadanya ternyata bukanlah sebuah jurus. ”Terima kasih Guru, karena Guru pula saya bisa kuat dan berani seperti sekarang”, kata murid. Sang guru menimpali,” Ya, tetapi itu bukanlah pelajaran terakhir yang ingin aku beri”. ”Kalau begitu apa, Guru?”, murid bertanya penasaran. ”Tahukah kamu apa yang telah Tuhan berikan untuk melindungi kita selain keberanian dan kekuatan?” Murid diam cukup lama. ”Tidak ada. Bagi saya berani dan kuat dapat melindungi saya dari apapun”. Sang guru kali ini mengeraskan suaranya, ”Tidak! Ada lagi yang dapat melindungimu selain dua hal itu”. Kata-kata sang guru benar-benar membuat murid merasa seperti telah melewatkan sesuatu. Tapi setelah memutar otakknya lagi ia kembali tak menemukan jawaban. Ia menyerah dan mengulangi jawaban yang sama, ”Tidak ada lagi”. Sang guru melirihkan suaranya, ” Aku tak menyalahkanmu. kita memang terkadang melewatkannya dan menganggapnya sebagai hal yang memalukan. Tetapi sebenarnya keberadaannya diberikan oleh Tuhan karena sangat berharga. Yang kumaksud adalah lawan keberanian, yaitu rasa takut.” ”Rasa takut?” Murid mengulangi perkataan sang guru dan ragu bahwa itulah jawabannya. ” Ya rasa takut. Kau tahu mengapa semut lebih mudah dibunuh oleh manusia daripada seekor tikus?” Murid sekali lagi merenung tapi kali ini ia tampak paham. ”Karena semut tak mempunyai rasa takut?” Sang guru tersenyum. ” Ketahuilah bahwa rasa takut dan keberanian adalah dua hal yang sama-sama merupakan jaminan perlindungan oleh Tuhan pada tiap makhluk-Nya”. Sang murid menjadi mengerti bahwa tak ada lagi pelajaran yang harus ia ketahui selain pelajaran tentang hidup itu sendiri.
Jumat, 07 Desember 2007
Nasionalisme
Memang sepertinya tidak ada masalah dengan nasionalisme. Tapi jika kita mau jujur sebenarnya nasionalisme akan membawa kita kepada masalah jika kita hanya menjunjung nasionalisme negara kita belaka dan tidak menghargai bangsa lain di dunia, atau yang disebut nasionalisme sempit. Menurut wikipedia, nasionalisme adalah paham yang mewujudkan satu konsep identitas sebuah negara. Sama seperti diri kita sebagai individu yang juga mempunyai identitas. Sayangnya, dalam mempertahankan identitas diri terkadang kita hanya memikirkan diri kita sendiri sehingga egopun keluar. Jika nasionalisme sempit bisa kita samakan dengan istilah "ego" ini, maka ego tidak hanya menghinggapi diri kita sebagai seorang individu dimana kita merasa lebih tinggi dari orang lain, atau dalam ruang lingkup yang lebih besar membuat kita merasa suku dan etnis kita lebih baik dari suku dan etnis yang lain, tetapi juga dalam skala yang lebih besar lagi, yaitu merasa bahwa negara kita lebih baik dari negara lain di dunia.
Segala pemahaman yang mengkotak-kotakkan kita ke dalam suatu kelompok, jika kita tidak bisa menempatkan pemahaman itu secara benar dan tepat maka suatu saat akan membuat kita berada dalam masalah dengan kelompok yang lain. Suku, ras, agama, partai politik, gang, klub, bahkan negara. Apapun kelompoknya memang sulit bagi kita untuk memahami bahwa sebenarnya kita semua adalah satu. Satu yaitu sama-sama sebagai manusia. Manusia adalah satu kesatuan. Perbedaan kepentingan dapat menjadikan masing-masing kelompok bersinggungan, berbenturan, bahkan perang. Contohnya di tanah air kita sendiri yang dahulu terdiri atas kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Perbedaan kepentingan dan perang sering terjadi pada masa-masa tersebut. Sampai pada suatu saat Belanda menduduki wilayah kita. Dengan pendudukan Belanda yang mengawali kolonialisasi di tanah air membuat kita semua merasa senasib sepenanggungan karena dijajah. Maka pada saat itu juga kita baru sadar sebagai satu kesatuan.
Memang manusia baru akan menyadari bahwa mereka adalah satu jika manusia merasa sama-sama satu rasa, sama-sama mempunyai kesamaan dan kepentingan. Jika tidak maka sulit. Kalau kita sebagai Bangsa Indonesia harus dijajah terlebih dahulu sebelum merasa satu lalu kapankah semua negara di dunia ini bisa merasa satu sehingga kedamaian dunia dapat terwujud? Apakah harus menunggu cerita fiktif jadi kenyataan berupa kedatangan UFO dari galaksi lain lalu kita harus kerja sama bertahan karena alien yang berwarna hijau menyerang? Atau barangkali bencana alam? Umm, mungkin yang ini bisa. Barangkali bencana dan perubahaan iklim saat ini bisa kita anggap sebagai serangan dari alien. Eit, maksud saya yaitu bencana alam sebagai kejadian yang sama-sama dialami oleh semua negara. Dengan adanya krisis iklim semoga semua negara di dunia bisa saling bekerja sama sehingga kita semua bisa merasa senasib dan sepenanggungan dan kedamaian dunia dapat tercapai.
Balik ke nasionalisme. Jadi bagaimana kita harus menempatkan Nasionalisme dalam hubungannya dengan negara-negara lain di dunia? Jika bisa saya umpamakan, Nasionalisme adalah sebuah wadah yang menampung wadah atau entitas lain yang lebih kecil di dalamnya. Paham kesukuan, etnis, agama, dan bahkan entitas yang paling kecil yaitu individu. Dalam hal ini nasionalisme adalah wadah yang lebih besar dari semua tadi, tetapi nasionalisme bukanlah wadah terakhir yang paling besar. Kita harus bisa menciptakan sebuah ”wadah” lain yang lebih besar lagi, jauh lebih besar dari nasionalisme. Entah apa sebutannya. Yang jelas kita harus sadar bahwa kita adalah sama-sama sebagai manusia, penduduk bumi yang sama.
”Nasionalisme bukanlah pemahaman terakhir, tetapi ia adalah bagian dari pemahaman bahwa kita semua adalah penduduk satu bumi." Sedapat mungkin berpikirlah bukan hanya untuk satu individu, satu suku, satu negara, tetapi berpikirlah untuk manusia seluruhnya.
Pada waktu kapal RI dan kapal Malaysia bersitegang di laut batas Indonesia-Malaysia, beberapa orang menyeletuk, ”Udah perang aja, ngapain takut dengan Malaysia!”. Ya emang enak sih kalau asal ngomong, apalagi tanpa memikirkan akibatnya ke depan. Sebagai warga negara kita memang dituntut untuk membela negara yang kita cintai, tetapi bisakah kita berpikir lebih universal dan dewasa? Bisakah kita mundur beberapa langkah sehingga perspektif pandangan kita tidak sempit hanya tertuju kepada negara kita sendiri, tetapi juga negara lain dan permasalahan yang membelit antar keduanya? Perang kapanpun tak akan pernah menyelesaikan masalah. Perang hanya akan mengulur-ulur waktu sambil memakan korban jiwa tanpa sama sekali menyentuh akar penyebabnya. Permasalahan antar negara hanya bisa diselesaikan lewat perundingan, diskusi dan diplomasi dengan kepala dingin.
Pemimpin negara ideal masa depan menurut saya harus mempunyai kesadaran akan semua hal itu. Menjadi seorang kepala negara tidak hanya harus mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk memimpin suatu negara, tetapi juga harus memiliki pandangan tentang bagaimana memimpin dan mengarahkan dunia ke arah yang lebih baik. Demi sebuah perdamaian dunia. Pertanyannya, negara manakah yang mempunyai pemimpin seperti itu? Apakah negara yang disebut sebagai yang paling adikuasa saat ini memilikinya?
Baca tentang Nasionalism, Regionalism, and Multiculturalism (The Jakarta Post) oleh Jennie S. Bev di sini.
Minggu, 25 November 2007
Anonymous
Bertabur butiran berlian dan mutiara
Berkilau terang menyinari kegelapan daratan ini menghampar
Memberikan sinarnya pada wajah-wajah yang dilalui
Menurunkan kejernihannya pada tiap-tiap hati
Kulihat ia tampak gembira
Menemukan nyala kecil jatuh di kedua tangannya
menyinari setapak jalan ia meniti hidup
dengan nyala terang yang tak lagi redup
Namun, berkali-kali ia berhenti dan gundah hati
Ingin ia simpan nyala kecil itu sendiri
ataukah membaginya dua
Lalu melemparkannya kembali ke angkasa
sebagaimana cahaya itu ada mula-mula
Di hamparan ini aku merenung diam
memikirkan awal mula nyala itu ada
Apakah dari berlian, mutiara, ataukah dari benda yang sama sekali tak pernah kujumpa
Pandanganku hitam namun akalku tak hilang
kuraup tanah di sekitar dengan tangan ala kadar
Berharap untung besar menemukan batu berkilau
Berlian, intan, atau mutiara
Ambisiku berkata
Sungguh ingin kulemparkan apa saja yang ada dalam genggaman tanganku
dan akan kubuat dunia terang walau hanya dengan bongkahan batu
Aku tulus
Karena aku hanya peduli manusia
Tak peduli kata diriku wujud ataupun tiada
Berlian, intan, bongkahan batu, ataupun mutiara
Aku akan melepaskannya
dan rela untuk tak memberinya nama
Kamis, 27 September 2007
Dimensi Pikiran
Sederhana
Aku ingin membalikkan ide lama
Aku ingin mengangkat derajat buruk dari baik
Aku ingin menceritakan arti dan makna
Darimanakah semua harus bermula?
Mungkin otak kecilku terlalu berpikir besar
seperti punuk merindukan bulan
Mungkin aku harus belajar banyak
menjadi sederhana
Teruslah Belajar
Membaca adalah yang paling berguna karena media berupa tulisan biasanya mempunyai muatan ilmu yang lebih banyak. Surat kabar seringkali bukan hanya berisi berita tapi juga ada kolom analisa, opini, iptek dll. Lebih-lebih buku yang memang dianggap sebagai jendela dunia, adalah sebuah peti yang berisi harta karun pengetahuan.
Membaca memang lebih sukar dilakukan daripada kedua hal lainnya. Karena usaha yang diperlukan memang lebih berat. Belum lagi dihinggapi rasa bosan lalu mengantuk karena yang dipandang cuma warna hitam putih saja. Atau tambah lagi jika ada kalimat penulis yang tidak membuat paham, seringkali berhenti di tengah-tengah paragraf menjadi pilihan. Memang mengawali untuk gemar membaca adalah hal yang tidak mudah. Saya juga demikian, apalagi membaca buku diktat kuliah tebal dalam bahasa Inggris, huff. Saya sendiri belum lama tertarik untuk suka membaca. Keingintahuan akan suatu hal mendorong saya untuk mencoba tidak bosan memandangi garis garis tulisan. Rasa gengsi karena tidak tahu bagaimana harus menjawab ketika ditanya, atau takjub melihat orang lain bisa berkomentar dan berdebat adalah faktor lain. Dan terakhir harus saya akui bahwa saya membaca karena saya ingin bisa menulis. Setelah membaca novel Supernova, saya baru sadar bahwa ternyata dua warna monoton bisa mendadak nampak indah di depan mata. Saya ingin bisa menulis seindah tulisan mbak Dee.
Melihat kondisi di Indonesia ini, memang sepertinya tidak terlalu mengherankan jika kebanyakan masyarakat tidak gemar untuk belajar dan membaca. Kebanyakan kita hanya ingin bersenang-senang saja, bercanda, dan tertawa. Ya memang sah-sah saja. Tapi apa ya dengan begini ini bangsa kita bisa bangun? Menurut saya hal ini punya kaitan tidak langsung dengan media televisi. Siaran televisi yang masih didominasi oleh sinetron dan tayangan hura-hura mengkondisikan pemirsanya untuk cuma tahu cara bersenang-senang. Lalu kapan masyarakat yang bodoh dan miskin tergerak untuk belajar dan berusaha? Kapan kaum yang berpendidikan tergerak untuk tidak hanya santai tapi berpikir dan menganalisa? Barangkali bukan saja Indonesia yang butuh reformasi dan Jakarta yang butuh revolusi budaya, tapi televisi kita juga butuh reformasi siaran. Para pembuat acara tv dituntut harus lebih kreatif lagi dalam membuat siaran yang tidak hanya kaya akan ilmu dan pendidikan tapi juga menarik, karena siaran yang sarat ilmu tapi membosankan juga percuma. Memang harus kita akui bahwa saat ini kita benar-benar miskin kreatifitas.
Maka dari itu kita harus mempunyai semangat untuk terus belajar. Mempelajari hal baru akan memberikan kita dorongan untuk menciptakan hal baru juga. Kaya akan ilmu maka kaya juga akan kreatifitas. Semoga bangsa ini dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain, diawali dengan dorongan dari tiap-tiap warganya untuk selalu ingin tahu lebih banyak.
Minggu, 26 Agustus 2007
Ruang Buat Faktor X
Manusia telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dengan pikirannya bermacam-macam ilmu dan teknologi telah berhasil diciptakan. Manusia memang pintar. Tapi, seberapa pintarkah manusia itu sebenarnya? Mengapa manusia terkadang bisa sangat sombong baik karena ilmu ataupun kedudukan yang ia miliki? Bahkan yang lebih ironis lagi manusia yang membandingkan dirinya dengan Tuhan atau mengaku lebih hebat dari-Nya. Mengapa manusia bisa berperilaku demikian?
Bisakah orang menyombongkan kemampuan dirinya dengan orang lain? Jika kita perhatikan, semakin orang pandai akan sesuatu, semakin banyak waktu dan tenaga yang ia gunakan untuk hal itu. Semakin banyak pula waktu dan tenaga yang tidak ia gunakan untuk hal yang lain. Misalnya orang yang makin pintar dalam hal matematika, makin pintar jugakah ia dalam kedokteran? Geologi? Ilmu Sosial? Jadi bisakah orang menyombongkan diri ketika tahu banyak hal yang tidak ia kuasai?
Berhakkah manusia menyombongkan dirinya dengan Tuhan? Coba kita perhatikan contoh yang sederhana saja, hal yang biasa kita hiraukan, yaitu daun yang jatuh ke tanah dari sebuah pohon. Kita saksikan daun yang jatuh menampilkan sebuah gerakan nan indah tetapi tidak bisa kita duga. Pontang panting ke kanan ke kiri, membolik-balik, memutar-mutar, terlempar jauh dengan gemulainya. Hal yang sepertinya bagi kita acak. Tetapi jika kita mempelajarinya, mungkin kita dapat mendefinisikan sebuah ilmu penentu gerakan daun itu, bahkan rumus fisika. Dengan faktor seperti: kuat dan arah angin, suhu, kelembapan udara, aspek aerodinamis daun, dll. Dengan ilmu yang memusingkan dan waktu yang sangat lama mungkin kita dapat menentukan penyebab kenapa daun itu bisa begini dan begitu. Dan ahaa, itu baru mempelajarinya saja. Sekarang dapat dibayangkan bahwa Tuhan yang menciptakan segala gerakan daun termasuk daun itu sendiri, trilyunan materi lain dengan ilmu yang menyertai dan zat pembentuknya, hubungan sebab akibat antar materi yang mengaitkan semuanya, wadah semua materi itu dalam bentuk ruang waktu, apakah bisa disamakan dengan kepintaran manusia? Bahkan manusia yang paling pintar dengan gelar profesor saja hanya ahli di satu bidang, hal lain boleh jadi ia tidak paham.
Jadi hanya orang bodohlah yang bisa menyombongkan diri. Orang yang pintar akan makin sadar bahwa sebenarnya ada banyak hal yang ia tidak tahu. Semakin banyak tahu, semakin tahu pula bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Hal yang belum diketahui atau diluar pemikiran manusia itulah yang saya sebut sebagai faktor x di sini.
Faktor x merepresentasikan segala hal. Dengan mempertimbangkan kehadirannya (membuatkan ruang untuk hal yang belum kita ketahui) adalah awal dari sebuah kecerdikan. Sedangkan kesombongan adalah musuhnya. Kesombongan layak untuk dicap sebagai musuh karena menutup akal kita untuk mencari dan mempertimbangkan segala hal baru. Kadang kala keegoisan kita muncul menjadi tabir menutup kesombongan itu menjadi semu, tidak terlihat namun ada. Jika ingin menjadi pintar yang sebenarnya, kesampingkan kesombonganmu dan terima hal baru dari siapapun juga. Ilmu datang tak pilih-pilih status, usia, jabatan, atau gelar sarjana. Selamat datang di alam semesta ilmu.
Filosofi Menang Kalah
Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang selalu berjalan bersama, keduanya beriringan meskipun orang memandangnya bertolak belakang. Kemenangan dan kekalahan sebenarnya adalah dua hal yang berpasangan, sama juga dengan hal lainnya. Akan tetapi di kehidupan ini satu diantaranya selalu dinanti, sedang satunya dihindari. Yang satu disambut dengan mata berbinar dan bersorak girang, satunya disambut dengan uraian air mata dan kegalauan hati. Kebanyakan orang memandang hanya kemenanganlah yang punya arti, "Hidup ini ya untuk menang, ngapain berjuang kalo akhirnya kalah?" Jika segala hal diciptakan punya maksud dan tujuan, lalu apakah kekalahan juga punya arti dan makna?
Menang, kalah, semua hal, ada karena punya arti. Dengan berjuang untuk menang, kita akan berusaha memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik dari masa lalu. Lalu kalau akhirnya kalah, apakah semuanya sia-sia saja? Malah jadi lebih buruk? Tidak, tentu, malah dengan kekalahan kita jadi tahu kelemahan kita. Persaingan, pertandingan, dan segala perlombaan, akan membuat kita tahu kelemahan yang ada pada diri kita sendiri, yang mungkin sebelumnya belum pernah kita sadari. Untuk jadi lebih baik, kita harus belajar dari yang lebih hebat. Maka takkan ada rasa menyesal karena kalah. Apalagi merasa dipecundangi.
Bagaimana dengan kemenangan? Kemenangan adalah sebuah penghargaan nyata atas usaha kita. Apakah itu sebuah bukti bahwa diri kita lebih baik dari yang lain? Tentu ya. Tetapi yang perlu disadari bahwa menang bisa jadi barang memabukkan. Meski waktu bertanding kita sadar akan kekurangan, tapi kalau menang kita bisa lupa diri, lupa akan kekurangan yang kita ingat tadi, lalu hanya merasa yang paling hebat. Jika demikian maka sebuah kemenangan tak mempunyai arti lebih baik dari sebuah kekalahan. Ada sudut pandang lain yang lebih baik dalam memandang kemenangan. Yaitu ketika tahu bahwa kemampuan kita lebih tinggi dari semua orang, apakah kita perlu kemenangan hanya untuk mengingatkan kembali bahwa kita yang paling hebat? Misal seorang grand master catur sedang melawan seorang pecatur muda berbakat. Apakah ia mengalahkan pemuda itu hanya untuk sebuah deklarasi kembali kehebatan dirinya? Tidak bukan? Ia tidak hanya sekedar mengalahkan, tetapi mengalahkan untuk mengajari, untuk memberi tahu kelemahan si pecatur muda. Jika kita bisa memandang kemenangan demikian, maka kita sudah melangkah lebih maju dari sebuah pemahaman biasa ke penyelaman arti dan makna.
Yang terakhir tersisa hanyalah sikap besar hati, kalah dan menang punya satu makna tersendiri. Sungguh tak ada hal diciptakan dengan sia-sia, melainkan ada karena punya makna. Berusahalah agar hari esok lebih baik dari hari sekarang dan hari sekarang lebih baik dari hari yang lalu! Bukankah itu yang selalu dinasehatkan?
:: Persaingan yang dimaksud bukan perang, karena perang punya konteks yang berbeda
Sabtu, 25 Agustus 2007
Algoritma dan Alur Pikir Manusia
Sebagai seorang programmer boleh dikatakan hampir setiap hari aq berkutat pada masalah logika dan matematika. Kadang cuma bersinggungan dengan logika yang gampang, tapi kadang pula harus berurusan dengan logika yang multi kompleks. Komputer memang aneh, makhluk yang satu ini punya daya ingat yang begitu hebat, tapi di sisi lain bodohnya luar biasa. Punya memori bermega-mega bahkan giga tapi tidak bisa berpikir sendiri, hal sepele pun minta diajari. Atau lebih tepatnya, diperintah. Memerintah komputer bisa terserah tapi tidak bisa asal. Karena kalo salah outputnya bakal diluar dugaan. Maka ada cabang ilmu komputer yang dinamakan logika dan algoritma. Cabang yang membahas tentang bagaimana harus berpikir logis, cara menyusun logika langkah demi langkah sehingga apa yang kita inginkan tidak membingungkan mesin polos ini.
Berawal dari itu semua, entah kapan aku mulai berpikir, bahwa manusia yang katanya sebagai makhluk yang paling cerdas di dunia, juga berperilaku serupa. Sama-sama punya algoritma, dalam bahasa yang lebih dikenal mungkin adalah alur pikir. Jika algoritma adalah urutan logika cara program komputer berjalan, maka alur pikir menunjukkan urutan langkah cara manusia berpikir tentang sesuatu.Dalam algoritma ada yang dinamakan dengan bug. Bug adalah kesalahan, baik cara menulis program ataupun logikanya. Pikiran manusia pun sama, bisa punya kesalahan juga. Jika bug terjadi pada pemikiran, diperlukan pemikiran lain yang lebih bagus dan sempurna untuk membuktikan kesalahan pemikiran sebelumnya. Contohnya adalah pandangan Hitler tentang Bangsa Jerman. Tanpa pembuktian kita mungkin takkan pernah tahu bahwa itu salah bukan? Lewat pemikiran, kesadaran manusia bisa bangkit hanya dalam sekejap, tetapi bisa pula terus terperangkap, baru bangkit setelah melewati masa yang sangat lama, dan bahkan tidaklah mustahil telah mengorbankan banyak nyawa. Seiring dengan semakin panjang sejarah manusia, paradigma dan alur pikir terus berubah, selalu mencari dan berusaha untuk mendekati kebenaran sejati.
Goresan Tinta
Kurasakan mulai detik yang lalu
kakiku jinjit, sayapku merenggang
siap-siap terbang ke lain alam
dimana kata dan bahasa adalah permata
membunyikan sedih riang suara hati-pikiran, yang terdalam
langsung kuambil pensil atau ballpoint, kertas seadanya
Serta merta jariku menari
mengikuti perintah pikiranku yang mulai cerewet
dan mataku yang melotot, mengawasi
kalau ada sedikit bahkan setitik salah koreografi
Bak hujan yang kadang deras kadang terhenti
Untaian bait yang dari tadi menyembur
tiba-tiba tersendat
Otakku melakukan aksi diam, tak lagi berkata-kata
Habis ini lalu apa?
Mataku melirik ke kanan kiri, kadang jauh keluar
Melihat pagar usang, rumput, tanaman
Mencari sesuatu
Bukan materi, tapi hanya sejumput atau segenggam imajinasi
Maukah kau jadi temanku berinspirasi?
Hanya kutemukan kosong udara tak kentara
membuyarkan pandangan setapak jalan di depan
Mungkin kata-kata memang tak bisa dipaksa
sekuat apapun aku ingin keluar memuntahkannya
Mungkin juga terhenti
karena persediaan kata di kepalaku hanya tinggal satuan mili
Kubalikkan coretan yang terisi setengah halaman itu
dan kubuka buku dengan judul bold tebal
kumpulan karya penulis terkenal
Maka kuberhenti menulis dan mulai membaca
agar penaku lebih berat dari sebelumnya
Sebuah goresan tinta
Ada lebih baik dari tak ada
Tahu lebih baik dari tak tahu